Archive for May, 2019

Si Merah

BIASANYA dia tidak tertarik merawat bunga. Apartemennya terlalu sempit, barang-barangnya terlalu banyak, alasan-alasannya terlalu bermacam.

“Buat apa menyimpan tanaman di apartemen sesempit ini? Bisa busuk nanti,” dia menampik saat seorang kerabat menyarankan untuk memberi sedikit nuansa alam di dalam ruangan apartemen bergaya minimalis.

Dan memang terus begitu: minimalis, namun entah kenapa sesak, bertahun-tahun.

Tetapi sekuntum mawar tidak sengaja dilihatnya di sebuah toko di pinggir jalan yang jarang dia lewati. Sekuntum mawar biasa. Merah, segar, berlapis-lapis, berbintik-bintik basah, habis disiram oleh pemilik toko. Sinar matahari berkilau di butiran bintiknya.

Hatinya bagai tertimpa hidayah. Cahaya kebenaran menyinari jiwa. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama.

Maka dibelinya sekuntum, bersama sebuah pot mungil dan pupuknya. Dipeluknya pot itu sepanjang perjalanan pulang, sambil terpana menikmati bunga cantik di atasnya. Dia tak yakin mampu merawatnya. Tapi pesona si merah nan indah itu menimbulkan kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuannya merawat sang bunga.

Ya, dia menamainya si Merah.

Apartemennya tiba-tiba tidak lagi terasa penuh. Barang-barangnya seolah gampang dirapikan kembali, buang yang tidak dipakai. Baju-baju membosankan. Peralatan elektronik berdebu. Furniture rusak. Seolah memang itulah yang seharusnya dilakukan. Tak pernah terpikirkan.

Si Merah harus punya tempat khusus. Di birai jendela.

***

“KUKIRA kamu tak suka bunga,” tukas sahabatnya sambil mengambil sebuah kaleng minuman dingin berkarbonasi dari kulkas.

Akhir pekan itu cuaca sedang sangat hangat. Kesempatan bagus untuk memanjakan si Merah dengan cahaya matahari seharian, di balik jendela yang membuka lebar. Disemprotkannya obat insektisida, yang tak pernah absen dilakukannya sebulan sekali.

“Tapi bunga ini cantik sekali,” jawabnya penuh keterpanaan. Cintanya belum pudar.

Jika senja turun, jendela ditutup dan si Merah akan beristirahat di sudut ruangan. Kadang-kadang dia percaya bahwa ada sesuatu yang terlihat berupaya menyeruak dari dalam tanah, berwarna merah. Pasti anak-anak si Merah.

Tak sabar.

Seringkali dia merasa tubuhnya seperti habis diinjak-injak sepulang kerja. Pekerjaan sebagai jurnalis hanya mengijinkan dia istirahat saat benar-benar tak ada kegiatan yang bisa diliput, yang jarang terjadi. Begitu sibuknya, sampai-sampai waktunya habis hanya di kantor, event untuk diliput, dan apartemen.

Apartemen berarti si Merah.

Hatinya kembali bahagia setiap menemukan si Merah berdiri segar di sudut – apalagi kini Merah tak lagi sendirian.

“Hai, Merah, bagaimana harimu? Aku lihat kamu mulai beranak-pinak. Makin cantik, lho,” sapanya riang. Capek dan pegalnya mendadak sirna. Pupil matanya dipenuhi si Merah, begitu juga hatinya.

Pada hari-hari yang kurang beruntung, dia hanya bisa terkapar di ranjangnya yang berantakan dan tak ingin makan apapun. Suhu tubuhnya tinggi. Hanya bisa jatuh tertidur. Namun dengan sisa-sisa kekuatan, dia menggeser pot si Merah ke samping ranjang, lalu naik dan memiringkan tubuh di atas bantal, memeluk guling. Memperhatikan nuansa keindahan Merah sampai menutup mata.

Sepanjang hari si Merah mendapat asupan sinar matahari, meskipun hanya dari balik jendela. Agar si Merah, beserta anak-anaknya yang mungil, tidak jenuh dengan pengapnya apartemen. Mungkin dia bisa melihat-lihat kepadatan lalu lintas dunia manusia di bawah sana.

“Cukup aku yang merasa sesak, Merah,” katanya sambil membelai Merah dengan ujung jari telunjuk, kebiasaannya setiap pagi sebelum meninggalkan apartemen. “Kamu harus bahagia dan sehat.”

Kadang-kadang dia memasak sesuatu. Terus-terusan makan di luar jelas menguras dompet. Dipelajarinya cara-cara memasak yang mudah dari Internet, jika sudah selesai mempelajari banyak hal tentang cara memanjakan Merah.

“Aku membuat quesadilla, Merah, lihat,” ujarnya sambil menaburi potongan selada dan keju di atas kulit tortilla berwarna putih. “Seandainya kamu bisa ikut makan.”

Makanan khas Meksiko tersebut sebenarnya disajikan untuk 2 orang. Namun dia terpaksa memakannya sendirian. “Maafkan aku, Merah,” ucapnya lirih sambil mengunyah daging ayam. “Aku harus makan ini semua sendiri dan kamu hanya bisa melihat.”

Si Merah tidak pernah hidup kekurangan. Dia mempelajari segalanya, mulai dari cara menyiram, jenis obat, waktu-waktu produktif, kapan harus memotong ranting (yang dilakukannya dengan terpaksa), bahkan potnya sudah berganti lima kali karena berbelanja pot kini menjadi kegiatan adiktif.

Sesekali dia melatih kemahirannya memainkan piano. Meski piano di apartemennya hanyalah piano upright bekas kepunyaan nenek, dia tetap gemar memainkannya, terutama di kala sedih.

“Jika aku memainkan karya Chopin yang judulnya Ballade 1 in G Minor op 23, tak hanya aku, si Merah kurasa ikut menikmatinya,” katanya memberitahu sahabatnya. Ada setitik jumawa. Melihat wajah bingung sang sahabat, dia melanjutkan. “The Pianist, saat Wladyslaw Szpilman memainkan piano karena diperintah tentara Nazi?” Sahabatnya pun mengangguk paham.

Dia begitu percaya, rimbunan kuntum mawar yang semerbak berwarna merah darah itu akan selamanya menemani hari-harinya.

Sampai kemudian. Dia meletakkan handuknya seusai mandi di pagi hari, mengenakan pakaian kerja, lalu sebelum menuju dapur dikunjunginya si Merah. Di sekitar pot bertebaran kelopak-kelopak. Itu tak pernah terjadi. Merah tak pernah rontok.

Makin cepat hari berlalu, makin banyak si Merah menggugurkan kelopaknya.

“Apa yang kiranya terjadi padamu, Merah?” ucapnya lirih sambil menyiram pelan-pelan Merah dan semua anaknya. “Jika kamu sakit, cepatlah sembuh. Jangan sakit.”

Tetapi kondisi Merah makin buruk. Satu persatu kelopaknya gugur lalu mengering. Dia selalu membersihkannya setiap malam, setengah termenung, setengah bingung, setengah sedih – hanya untuk melihat lembaran-lembaran baru lagi di pagi hari. Dia menangis.

“Mungkin ada yang salah dengan obat insektisida barunya,” tutur sahabatnya mengira-ngira. “Sudahlah, keringkan airmatamu. Itu, kan, cuma bunga.”

Dia merasakan sengatan di hati. Kata-kata ‘cuma’ artinya meremehkan peran Merah dalam hidupnya. Seolah kekhawatiran dan kesedihannya tak cukup mengganggu hari-harinya belakangan ini. Tak disangka, seorang sahabat justru menghancurkan sisa-sisa harapan.

“Merah bukan cuma bunga. Dia pelipur lara yang sangat memahamiku,” tukasnya galak. “Aku telah bersamanya sejak dia masih sangat kecil dan sendirian. Aku tidur dengannya setiap malam. Sakitku sembuh karena dia menyemangatiku.”

Tak ada gunanya mendebat. Si Merah tetap berjatuhan bagai kepungan hujan deras yang tak mau berhenti menusuk bumi.

Dia tak sanggup lagi pergi bekerja. Bosnya tak paham kenapa dia terus mengajukan cuti. “Kamu tampak patah hati. Jangan membawa masalah pribadi di dalam ranah pekerjaan,” nasihatnya dengan lagak aku-sudah-biasa-menghadapi-staf-patah-hati.

Dia mendengus dan berlalu.

“Apa yang terjadi, Merah?”

Pot si Merah kini tergeletak di atas meja makan. Di atas meja yang sama, dia meletakkan dagu di atas lengannya selama berjam-jam, memandangi Merah dengan hampa. Ditekan-tekankannya jemarinya pada kelopak Merah, berharap keajaiban terjadi dan si Merah perlahan-lahan membaik. Kini hanya menyentuh kelopaknya sedikit saja, Merah tak tahan. Rontok.

Air matanya pun tak tahan. Berhamburan.

Si Merah kini ikut tidur di atas ranjang.

“Kumohon tetaplah bersamaku, Merah. Jangan pergi,” katanya sambil menangis di atas bantal. Diusapnya kelopak demi kelopak yang masih tersisa. Merah kini tak gembur dan segar lagi. Dia bahkan tidak lagi merah. Warnanya kini kecoklatan. Merah tak lagi harum, tak lagi halus. Merah tak lebih seperti daun kering ringkih yang jatuh dari pohon, berkerak jika terinjak.

Maka dia, seperti Merah, kehilangan pegangan dan gairah. Dia berhenti memasak. Dia tak lagi bicara dengan sahabatnya. Apalagi memainkan piano. Namun meski melupakan makan, dia tidak lapar atau sakit. Sedihnya terlalu dominan. Matanya merindukan warna merah.

Dini hari, dia tak mampu memejamkan mata. Apartemen itu pengap, meski pendingin udara terus menyala. Si Merah kini kembali sendirian, hanya ditemani sekuntum-dua kuntum anak-anak yang juga sekarat. Air matanya jatuh ke bantal. Tak rela berpikir ini saat-saat terakhir bersama Merah.

***

PAGI itu cerah seperti biasa. Dia membuka mata. Kedinginan. Sudah terbiasa dengan nuansa merah yang menghangatkan pagi, dia mulai menangisi ketiadaannya. Lalu kaku terduduk. Diusapnya matanya yang bengkak. Dirabanya wajahnya yang tirus.

Aneh. Mendadak dia sadar, ranjangnya kini berwarna merah. Dia menyentuhnya, yang ternyata adalah tumpukan kelopak bunga mawar merah. Segar dan harum. Banyak sekali. Memenuhi ranjang. Tak hanya itu. Meja tamu, ruang makan, sofa, hingga ke lantai, semua berlapis merah. Apartemennya tak lagi pengap. Kemana pun mata memandang dan tubuh bergerak, apartemen itu bagai hutan kelopak bunga mawar.

Dia menari-nari bahagia di tengah ruangan. Menempel-nempelkan kelopak merah di tubuhnya. Oh, Merah, terima kasih karena tidak pergi, isi hatinya bergumam, air matanya kembali mengalir.

Ruangan itu terasa seindah dan sehidup saat Merah pertama kali hadir di tempat itu: kecil, sendirian, bangga, dalam pot murahan.

Dikecupnya kelopak-kelopak itu. Merasa jatuh cinta sekali lagi.

Pot bunga yang indah berdiri di sudut, sendirian, kering.


P.S. Cerita ini kutulis tanggal 18 Oktober 2016, sesaat setelah mendengar berita kematian seorang kawan.

May 17, 2019 at 7:00 am Leave a comment

Alasan

Mungkin bagi sebagian orang, mengalami kejadian tertentu tak lebih sekadar suatu kesialan atau keberuntungan. Tak ada alasan. Tak merasa perlu mencari penyebab dan hikmah. Menganggap aneka insiden yang menimpa hidup tak lebih sebagai deretan takdir yang memang sudah seyogyanya terjadi dalam kehidupan semua insan bernyawa. Sekadar menerima dan membiarkannya berlalu.

Padahal tidak. Makin dirimu dewasa dan berpikir, dan jika kamu benar-benar menyempatkan diri untuk berkontemplasi pada suatu keheningan malam, kamu bisa mulai menyadari bahwa apapun yang terjadi padamu hari ini – detik ini – sesungguhnya adalah alasan mengapa certain things terjadi padamu di masa lalu. Yang mana, dulu tidak dapat kamu pahami alasannya. Yang membuatmu menangis di atas sajadah, mengiba berurai air mata, mengapa ini yang terjadi, ya Allah? Ketahuilah, jawabannya sebenarnya ada.

Semua pertemuan, perpisahan, kesedihan, kebahagiaan, keputusan, perubahan, ketidaksengajaan, penundaan, wajah, nama, tempat, kota, langkah… semuanya sesungguhnya berkonspirasi menuntunmu menuju takdir hidupmu, hidup yang kamu cita-citakan. Meski pasti pada saat suatu perpisahan terjadi maka bagimu dunia terasa runtuh dan saat kamu bahagia maka menurutmu tak mungkin kamu lebih bahagia lagi … ternyata tidak. Semuanya tak lebih dari sepenggal kisah yang saling bahu-membahu mengantarmu kepada sesuatu yang lain, yang baru, yang tak kamu sangka, yang padahal sebelumnya cuma bisa kamu bayangkan.

Itu sebabnya orang suka menasihati – yang mungkin tak suka kita simak pada saat galau: ‘ambil aja hikmahnya.’ Kita yang sedang kacau-balau tentu menerima nasihat itu sebagai basa-basi belaka. Kita akan berpikir sinis anak kecil juga tau ngomong begituan. Namun kesinisan itu akan berubah beberapa saat, atau beberapa bulan, atau beberapa tahun kemudian, saat kita mengalami kebahagiaan, yang jika dirunut sesungguhnya berawal dari ‘kesialan’ di masa lalu. Kita akan kaget sendiri saat sadar bahwa kalau saja hal yang buruk dulu tidak terjadi, maka kebahagiaan yang sedang kita nikmati sekarang juga tak akan terjadi. Lalu kita pun akan menyadari betapa beruntungnya dan betapa baiknya Tuhan sesungguhnya. Semua penderitaan di masa lalu tak lain ternyata hanyalah sarana untuk memberikan kita anugerah di masa sekarang.

Kita akan menyadari, inilah hikmah yang dimaksud oleh nasihat basa-basi tadi.

Jadi, meski keterpurukan sanggup membuat kita yakin untuk mengakhiri hidup, percayalah bahwa semua kesedihan dan ketidakberuntungan itu hanya sebuah fase, sesuatu yang tak kekal, dan semuanya akan digantikan dengan kebahagiaan berlipat-lipat, karena begitulah janji Tuhan jika kita terus percaya dan bersyukur kepadaNya.

Allah berfirman dalam surah Al Baqarah 155-156: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar sehingga bisa hidup bahagia menurut Islam. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami kembali).”

Ada ungkapan yang pernah kubaca dalam buku gubahan Paulo Coelho: hidup akan membuatmu bahagia, tapi sebelumnya hidup akan membuatmu kuat terlebih dahulu.

Sebab semuanya, baik maupun buruk, hitam maupun putih, memiliki alasan.

May 16, 2019 at 3:06 pm Leave a comment


Thank you for visiting my blog! I hope you enjoy your time here. Please forgive me for any bad words or pictures I might undeliberately put in here. Please leave some comments and thank you for coming back again.

Other Information

Click to view my Personality Profile page