Archive for April, 2019

Pamit

Sudah deket, akrab, nyaman, tau-tau ditinggal? Aku kira itu sesuatu yang mustahil, awalnya, sebab mana bisa seseorang main pergi begitu aja saat sudah ‘terkoneksi’ dengan orang lain? Seperti, terkoneksi dengan pekerjaan, pernikahan, keluarga, bisnis, dan semua ikatan-ikatan lain. Manusia yang sudah committed pasti berupaya terus bersama, kan? Jika memang mau melepaskan diri, maka bicara dulu, pamitan, izin, diskusi.

Jadi kalo faktanya kepergian banyak orang tak diawali dengan pamitan dulu – ujug-ujug ngilang – maka tentu ini dapat menghasilkan sebentuk prahara. Atau kemarahan. Minimal kebingungan. Mengapa tiba-tiba pergi? Mengapa mendadak menghilang?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut pun lama-lama akan jadi tak penting lagi, seiring berlalunya waktu. Karena toh yang ditanya kan sudah pergi. Jadi kita yang ditinggal ya hanya bisa berasumsi, lalu ikhlas, menjadi dewasa (kalo bisa). Kebenaran tetap dia yang memiliki; alasan mengapa tak pamit pun, dia satu-satunya yang tahu jawaban validnya. Namun kenapa tak ungkapkan saja semuanya secara terbuka? Selamanya harus menjadi misteri Ilahi kah?

Ya, makin kita dewasa, makin kita ngerti bahwa dunia ini tak akan berjalan hitam-putih seperti harapan. Akan selalu ada ketimpangan, dan tak semua pertanyaan dapat terjawab. Tak semua yang ada di sisi benar-benar ingin ada di sisi. Dan tak semua yang kita pikir bisa dibicarakan santai sambil ngopi, bisa dibicarakan. Kadang, orang tiba-tiba mau pergi saja. Merasa cukup.

Tak ada kata berpisah. Tapi secara fisik menghilang. Memisahkan diri. Meninggalkan segala yang sudah dilewati seolah semuanya tak berarti. Ya, memang bagi dia pasti tak berarti, lah. Kalo berarti kan nggak pergi. Nah, pertanyaannya, kenapa dia menganggap semuanya yang berarti bagiku adalah hal tanpa arti, sehingga membolehkan dia merasa layak begitu saja pergi?

Maksudku, kalo memang mau pergi, mbok ya ngomong. Bilang alesannya apa. Walaupun mungkin akan sulit diterima, namun setidaknya sudah pamitan. Lepas dari aku mengizinkan atau nggak, nothing I can do to stop them if they have no intentions to stay. Ya sudah, I will let go.

Oh, ya, aku orang yang akan mudah melepaskan, jika yang ingin kupertahankan memang memilih pergi. Mudah di sini bukan berarti aku suka atau bahagia melakukannya ya. Tapi dalam arti ya sudah – jika itu pilihannya, tak akan kupaksakan menuruti mauku.

Nah, kalo main pergi aja? Kesan pertama tentu heran. Lalu kaget. Terpana. Bertanya-tanya. Apalagi tak merasa ada yang salah. Jadi kenapa mendadak berubah? Sudah capek-capek bertanya pun, tetep tak ada jawabannya.

Kepergian tiba-tiba sungguhlah bisa masuk kategori kriminalitas.

Sebab dampaknya sungguh negatif: pertanyaan tak terjawab, kesedihan tak berujung, kemarahan tanpa akhir, kepasrahan tiba-tiba, penerimaan di balik air mata. Hal-hal yang dapat menjatuhkan produktivitas dan nilai hidup siapapun, bisa jadi untuk jangka waktu lama.

Itu sebabnya, jika aku adalah seseorang yang ingin melepaskan diri, aku akan pamit dulu. Minimal menunjukkan tanda-tanda ketidakbetahan. Yah, mungkin bagi banyak orang, pamit adalah suatu tindakan pahlawan, sebab yang namanya pengecut memang tak akan sanggup berkata jujur, bahkan untuk sekadar pamitan.

P.S. Post ini ditulis bukan karena aku habis ditinggal pergi baru-baru ini. Tapi kasus ditinggal-tinggal ini pernah beberapa kali terjadi di masa lalu, dan pada saat-saat itu, aku masih inget how heartbroken I was, yang kalo diinget suka jadi sebel dan heran sendiri, sehingga aku pun menuliskannya secara ngalor-ngidul di sini.

April 16, 2019 at 9:19 pm Leave a comment

Belum Pernah

Dari banyak hal di dunia ini yang bisa dengan mudah bikin air mataku jatuh ke pipi, salah satu penyebab terbesar adalah: mengetahui fakta bahwa di luar sana, ada seorang pria yang jatuh cinta setengah mati dengan seorang wanita dan rela mempertaruhkan apapun demi bisa hidup bersama wanita itu, sesulit apapun, semahal apapun, sesibuk apapun, selama apapun.

Pasti bingung, kan, apanya yang sedih dari itu? Bukannya itu hal yang membahagiakan? Ya, memang senang mendengar atau membaca tentangnya, namun hal itu tanpa terhindarkan pasti membunyikan ‘bel’ di sudut otakku yang tanpa tedeng aling-aling mengingatkan bahwa: tak pernah, atau belum pernah, ada sosok pria yang melakukan itu kepadaku sebelumnya.

Ya. Bagiku ini kedukaan. Layak ditangisi. Dipertanyakan. Dinanti-nanti. Bukan di hadapan siapapun, kecuali kepada Tuhanku semata, di atas sajadah atau di tempat tidur. Sebab manusia mana yang bisa menjawab pertanyaan menurutmu kenapa aku belum pernah mengalaminya sejauh ini?

Untuk mempermudah gambaran dan mengikis keheranan kalian, berikut contoh-contoh kasus yang mendeskripsikan kenapa aku menangis:

  • Pria yang rela menempuh jarak ratusan kilometer demi untuk melamar atau menikahi wanitanya. Meski harus bolak-balik ratusan kilometer dan menghabiskan waktu serta biaya, si pria tetap menepati janji untuk menikahi wanitanya. Menuruti syarat dan permintaan dari keluarga wanitanya. Selalu kembali, dan seiya-sekata dengan perbuatan.
  • Pria yang selalu berkirim kabar dengan wanitanya meski hubungan mereka terkendala banyak hal, yang membuat komunikasi mereka menjadi terbatas/sulit/mahal. Namun tetap dijalani. Misalnya tetap berkirim surat di kala perang. Atau tetap menelepon setiap hari meski sedang berhubungan jarak-jauh (LDR).
  • Pria yang sangat sibuk dengan pekerjaannya, menjadikan mereka jarang ketemu, namun tetap menyisihkan waktu dan uang untuk berupaya menikahi wanitanya. Atau sekadar menemuinya. Kesibukan tidak menghalangi pria itu untuk mencintai dan menikahi wanitanya, dan kemudian membawanya hidup bersama.
  • Pria yang sudah ditinggalkan si wanita namun tetap mencintainya. Entah hanya dalam doa atau tulisan, atau sampai berjuang mendapatkannya kembali. Berjuang meski sulit atau terlarang.
  • Pria yang sangat mementingkan wanitanya, mengistimewakannya, mengutamakannya, menjadikannya prioritas, memikirkan perasaannya, menimbang-nimbang pilihannya. Concern terhadap apapun yang dirasakan dan diinginkan si wanita.

Begitulah. Lalu kalian akan bertanya, bukankah pria yang waktu itu melakukannya? Hei, baiklah, dari sekian banyak pria yang kukira mengisi hati dan nantinya hari-hari bersamaku, yang kepadanya kupercayakan hatiku, belum ada seorangpun yang mau seberusaha itu untuk bersamaku. Yah, kalau memang ada, tentunya saat ini aku tak mungkin menulis ini sendirian sambil dengerin piano Glassworks gubahan Valentina Lisitsa, kan?

Kata kuncinya adalah berusaha dan kesamaan hatiku dengan hatinya (mutual). Selama salah satu faktor tidak dimiliki, maka pria tersebut tidak eligible untuk diberi ‘tantangan’ ini. Dan beberapa yang kukira memilikinya, yang kupikir dapat menjadi tempat hatiku bertambat, ternyata malah bikin sambat…

Maka, itu sebabnya, mari kembali lagi ke paragraf pertama tulisan ini.

April 10, 2019 at 9:17 pm Leave a comment


Thank you for visiting my blog! I hope you enjoy your time here. Please forgive me for any bad words or pictures I might undeliberately put in here. Please leave some comments and thank you for coming back again.

Other Information

Click to view my Personality Profile page