Archive for March, 2019

Jarak

Jarak hanya angka, ukuran, sesuatu yang seharusnya tidak menjadi penghalang untuk pertemuan. Sebab sejauh apapun sebuah jarak, dia tetap memiliki dua ujung yang saling merindu untuk bertemu.

Tapi jarak selalu menuntut pengorbanan dan harga yang harus dibayar. Jarak menuntut waktu, menuntut sabar, menuntut ikhlas, menuntut keberanian. Jarak bukan untuk mereka yang kalah oleh mahalnya nominal, bukan untuk mereka yang jantungnya berdegup ragu oleh ketakutan akan perkataan orang lain.

Adanya jarak menciptakan keberanian, sebab menjelajah jarak menunjukkan ketulusan hati. Keberanian menempuh dan mengatasi segala takut dan ragu. Jarak sesungguhnya tak berarti karena di ujung sana, sesuatu yang dirindukan pun menantimu. Dia hidup di dunia yang sama. Udara yang sama. Jarak yang jauh tidak menjadikan hidup kalian lantas menjadi jauh juga, seperti berbeda dimensi atau masa.

Jadi, kenapa mempermasalahkan jarak? Kalau benar-benar rindu, maka jarak hanyalah sekelumit jentikan jempol yang patut diremehkan. Apalagi di dunia seperti yang kita tempati hari ini, dimana perjalanan dan komunikasi menjadi begitu mudah dan cepat dilakukan.

Maka, hubungan seharusnya tidak mengalah oleh jarak. Dan agar tulisan ini tidak dikata-katai sebagai ‘halah ngomong gampang’ maka sebagai manusia, kita punya tools yang tertanam sejak lahir bahwa manusia ditakdirkan hidup penuh upaya dan tidak menyerah pada nestapa. Surviving is part of living, not the other way around. Dan sebagai hadiah untuk usahamu, Tuhan pasti anugerahkan keajaiban-keajaibanNya padamu, sesuai janjiNya untukmu, hamba yang berusaha menepis jarak sebagai monster penghancur rindu.

March 29, 2019 at 2:00 pm Leave a comment

Satu Frekuensi

Sebetulnya apa yang paling penting dalam hal membina hubungan dengan seseorang? Hubungan yang kubahas adalah hubungan kekasih alias romansa. Ada yang bilang, kalau pengen tau seperti apa perasaan sejatimu kepada seseorang, ‘telanjangi’-lah dia. Not the perverted way, for sure, tapi maksudku telanjangi hal-hal ekstrinsik seperti harta, pekerjaan, jabatan, atau fisiknya seperti ketampanan dan caranya berpakaian yang classy. Jika tanpa hal-hal itu kamu masih mencintai dia, apa adanya dia tanpa segala embel-embelnya, maka cintamu dapat dikatakan sejati.

Tapi banyak sekali orang yang mencintai atau terpaksa membersamai seseorang karena kenyamanan finansialnya atau kerupawanan fisiknya. ‘Supaya bisa ngebelanjain terus’ atau ‘supaya gak malu-maluin dibawa ke acara keluarga’. Sungguh, cinta tidak semurahan itu. Tapi bisa apa? Di tengah segala kegilaan dan kebobrokan dunia sekarang ini, mungkin sudah bisa dikatakan wajar jika orang lebih memilih hidup nyaman meski hati menjerit atau tersakiti. Banyak yang lebih ikhlas melukai jiwa, daripada tidak bisa makan atau merana dikata-katain ‘gak laku karena gak nikah-nikah’. Yang penting menikah; urusan bahagia sih nanti dulu (atau mungkin karena kebahagiaan itu tidak penting?).

Kembali ke pertanyaan pertama: jadi, apakah yang penting? Bagiku, kesamaan, kecocokan dan kenyamanan dengan seseorang adalah sesuatu yang penting dan mutlak harus ada dalam hubungan (jenis apapun, sebetulnya, tapi konteks tulisan ini adalah hubungan romansa). Kesamaan minat, visi, harapan, nilai, cara pandang, pola pikir, selera humor, latar belakang keluarga, semuanya adalah frekuensi yang saling tarik-menarik dengan frekuensi lain yang sama. Maka orang-orang yang tidak satu frekuensi pasti segera menemukan keanehan atau ketidakcocokan dan akhirnya menjadi tidak bersemangat dalam mengupayakan kebersamaan. Kalaupun memutuskan bersama, pasti ada motif lain selain kenyamanan yaitu tekanan sosial, bertambahnya usia, atau alasan agama (‘yang penting agamanya bagus; kalo agama bagus maka sikap juga bagus’). Mungkin mereka bisa saja (tetap) bersama. Tapi, ketidaksemangatan tadi akan menggerogoti jiwa dan mengancam hubungan yang rapuh tersebut.

Pasangan yang memiliki frekuensi sama tidak akan bekerja terlalu keras dalam melengkapi ‘puzzle’ kehidupan, sebab mereka memberi sumbangsih yang setara dalam menyusun kepingan demi kepingan yang ukurannya cocok dan pas demi menjadi puzzle utuh. Makin dini kepingan itu disusun, makin kuat pondasi hubungan, sebab mereka sudah terlatih saling mengisi dan menyambung bahkan dari hal-hal kecil, yang sudah terbentuk saat hubungan baru dimulai, dan itu terus berkembang secara natural.

Maka jika sejak awal sudah ada ketidaksamaan, akan lebih sulit menyatukan puzzle tersebut. Bukannya tidak bisa, hanya butuh waktu lebih lama dan tentu penyesuaian di sana-sini demi mencocokkan kepingan puzzle agar utuh. Akan lebih banyak yang dikorbankan atau dikikis demi kelangsungan hubungan. Padahal ini masih tahap menyusun puzzle, belum sampai memantapkan kestabilan puzzle tersebut agar tidak rapuh dan hancur, which is a much harder task.

Seperti tulisanku di post sebelum ini, hubungan dengan orang yang tepat adalah justru yang tak butuh upaya keras untuk mewujudkannya. Bersamanya akan menjadikan hati lapang, jiwa tenang, kamu menjadi lebih produktif dan bahagia, kamu akan berfokus menjadikan hidupmu dan hidupnya kompak menjalani kehidupan bersama-sama tanpa merasa harus atau dipaksa. Senatural itu kamu menjadi manusia yang lebih baik.

Akan ada orang yang berpendapat bahwa bukan kesamaan frekuensi yang penting, melainkan keinginan untuk tetap bersama di atas segala perbedaan. Sebab dengan sabar dan ikhlas maka disitulah letak kekuatan cinta sejati. Aku sedikit setuju, sebab kondisi ‘sabar dan ikhlas menghadapi perbedaan’ ini bedanya teramat-sangat tipis dengan keterpaksaan seperti ‘ya udahlah, mau gimana lagi’ atau ‘kalo pisah, susah/males lagi nyari yang baru’ dan ribuan alasan serupa. Mungkin kembali lagi ke niat awal, apakah bersama karena mencintai orangnya secara personal atau hanya mencintai faktor-faktor ekstrinsik di awal tadi? Yah, tapi ini bahasan lain, dan itu sebabnya pilihan yang satu ini menurutku sebaiknya tidak dipilih. Tentunya hidup akan lebih enak dijalani jika hati, jiwa dan tubuhmu bahagia membersamai seseorang tanpa rasa pasrah berbentuk ‘ya udahlah’ atau kekecewaan yang konstan karena begitu banyak perbedaan, kan?

March 20, 2019 at 9:11 pm Leave a comment

Wandering Souls, No More

Beberapa manusia ditakdirkan memiliki keberuntungan. Bukan hanya dalam soal finansial, pekerjaan, atau keluarga. Pernahkah kamu berpikir bahwa merasakan kenyamanan dan kedamaian batin serta fisik bersama seseorang juga bentuk keberuntungan? Dan tidak, itu bukan suatu hal sederhana. Begitu banyak manusia yang ‘terperangkap’ hidup bersama orang-orang yang tak mampu memahami mereka. Maka menjalankan hidup akan terasa seperti memaksakan langkah di atas tanah berlumpur saat hujan masih turun.

Tapi bersama orang-orang yang tepat (dalam blog ini aku akan menyebutnya ‘orang’ atau ‘seseorang’ karena hanya merujuk ke satu orang) hidup akan terasa seperti melangkah di tengah kebun bunga yang subur dan sinar matahari yang cerahnya tak menyilaukan, di bawah langit biru, burung berkicau, angin berhembus lembut, dan kalian berdua sehat. Setiap hal yang kamu mau, dia paham. Setiap racauan, omelan, sampai air matamu, dia paham. Setiap kamu butuh diam, butuh sendiri, atau butuh membeli benda-benda tak penting, dia paham.

Dia paham semua tentangmu, begitu juga kamu memahami dia.

Dan tidak, ini tidak mudah. Beberapa orang akan bilang “semua, termasuk cinta, bisa diupayakan” tapi sesungguhnya koneksi yang tepat adalah yang tak perlu upaya apapun. You’re only being yourself, maybe the best version of you (karena kasihmu kepadanya) and he appreciates that and gives you back the best of him. You’re just meeting the half of your soul. Jiwa-jiwa kalian yang selama ini mengembara berjauhan secara ajaib saling menemukan, melalui rangkaian plot twist kehidupan, melalui aneka kesakitan, luka, kepedihan, hati yang patah, sempat matinya harapan, atau orang-orang yang salah.

Maka saat ada ungkapan “sesungguhnya semua kejadian memiliki hikmah” atau kata Tolstoy “Tuhan maha tahu, tetapi Dia menunggu” (wait that was my old post) maksudnya adalah manusia sebaiknya percaya dan tau bahwa segala kemalangan kemungkinan besar cuma sebuah jalur yang dibuka oleh Tuhan untuk, cepat atau lambat, mempertemukanmu dengan kebahagiaan yang sesungguhnya ditakdirkan untukmu.

Maka, terima kasih, masa lalu, terima kasih, orang-orang yang menghancurkan hati, terima kasih, pengalaman, dan semuanya yang telah terjadi, yang pernah kusesali dan kutangisi, yang pernah membuatku kecewa dengan hidup ini, karena ternyata berkat kalian aku menemukan sesuatu yang membuat hatiku bilang, “this is, finally, the one”.

Dia hadir tanpa perlu kucari. Dia di sisiku tanpa perlu kuajak. Dia tetap di sisiku di saat-saat terburukku tanpa perlu kupaksa. Aku ngoceh dan ketawa tanpa kubuat-buat. Aku bersikap baik dan manis bukan karena harus. Aku melakukan hal-hal yang dia lakukan tanpa perlu dikondisikan. Hobiku, selera seniku, favoritku, camilanku, ternyata sudah selalu sama dengan pilihannya selama ini. Begitu juga visiku, niatku, cita-citaku, rancangan masa depanku. Kami tak memaksakan apapun. Kami ibarat satu jiwa yang terperangkap di tubuh-tubuh dan jalan hidup berbeda, yang selama puluhan tahun terpisah tanpa sedikit pun jalur penghubung (seperti sekolah atau pekerjaan), namun lalu, itu tadi, berkat suatu plot twist yang tak pernah dapat ditebak oleh dukun manapun, kami dipertemukan. Di saat kami sama-sama least expect it. Di saat kami berada pada kesendirian yang sama. Di saat kami merasa mampu berdiri sendiri but inside, we crave to be with someone we hold dear, someone we can call our own. Kami cenderung pendiam dan introvert namun memiliki dorongan yang sama besarnya untuk memiliki seseorang.

Dia dengan lingkup yang lebih ramai dan pilihan yang lebih banyak; aku dengan segala kesepian dan ketenangan di rumah. Dia yang telah banyak menginjakkan kaki di berbagai kota di negeri ini; aku yang harus puas dengan rumah-kantor-rumah-kantor. Bagiku (juga bagi orang-orang di sekitarnya) dia bisa memiliki segalanya, dan baginya (juga bagi orang-orang di sekitarku) aku juga bisa memiliki segalanya. Namun semua stereotip itu tak lebih hanya kesemuan belaka. We’re still lonely wandering souls, not trying to find each other, but God, after all, has always arranged our meetings.

Before him, yang kutau adalah pria seberkualitas dia hanya eksis di media sosial, di film dan buku, atau terjadi pada teman-temanku, yang biasanya hanya bisa kupandang iri, sebab aku belum pernah mengalaminya sendiri, dan terlalu takut bermimpi. I was a hopeless romantic before knowing that such man exists. Dalam wujud dia. Maka segala opini burukku tentang cinta dan hubungan pun teranulir. Dia mengubah persepsi gilaku tentang seperti apa sebuah hubungan seharusnya. Dia membuatku tau bahwa ternyata pria yang benar itu ada, hidup, nyata, bahkan selama ini sesungguhnya tak pernah jauh, namun karena tak punya connector tadi maka kami tak pernah bertemu sebelumnya. Dia bukan orang dari lingkungan yang mungkin kudatangi dan terlibat denganku, sehingga bisa bertemu dan bersamanya sesungguhnya sebelumnya cuma sebuah khayalan yang mustahil jadi nyata. Sebelumnya aku cuma sanggup membacakan potongan prosa dari film A Bittersweet Life yang bunyinya: “… because the dreams I had can’t come true” sambil meratapi nasib namun nasib ternyata memberikan kejutan ini.

Tapi semua tetap berjalan apa adanya. Tak ada kepalsuan. Tak ada dusta. Tak ada inkonsistensi. Semua ucapan, perbuatan, janji, terwujud persis selaras tanpa ada yang dikurangi. Justru seringnya ditambah jadi lebih baik. Tak ada lagi kekhawatiran. Bersamanya, aku tau aku menemukan jalan terang. Bersamanya, aku tau dialah jiwa yang selalu aku puja. (Tulus’s Teman Hidup mode: on).

March 16, 2019 at 6:31 pm Leave a comment


Thank you for visiting my blog! I hope you enjoy your time here. Please forgive me for any bad words or pictures I might undeliberately put in here. Please leave some comments and thank you for coming back again.

Other Information

Click to view my Personality Profile page